Sabtu, 31 Oktober 2009

MAKRUH DAN BAHAGIANNYA

BAGIAN paling rendah dalam rangkaian perkara-perkara yang
dilarang adalah perkara makruh; yaitu makruh tanzihi.
Sebagaimana diketahui, makruh ini ada dua macam; makruh
tahrimi dan makruh tanzihi. Makruh tahrimi ialah perkara
makruh yang lebih dekat kepada haram; sedangkan makruh tanzihi
ialah yang lebih dekat kepada halal. Dan itulah yang
dimaksudkan dengan istilah makruh pada umumnya.

Banyak sekali contoh yang kita kenal dalam perkara ini.
Barangsiapa yang pernah membaca buku Riyadh as-Shalihin, yang
ditulis oleh Imam Nawawi, maka dia akan dapat menemukan
berbagai contoh tentang perkara yang makruh ini. Seperti
makruhnya orang yang makan sambil bersandar, minum dari bawah
bejana air, meniup minuman, beristinja' dengan tangan kanan,
memegang farji dengan tangan kanan tanpa adanya uzur, berjalan
dengan satu sandal, bertengkar di masjid dan mengangkat suara
di dalamnya, berbisik di masjid pada hari Jumat ketika imam
sedang berkhotbah, membesar-besarkan suara ketika berbicara,
mengucapkan doa, "Ya Allah ampunilah dosaku kalau engkau mau."
"Kalau Allah dan Fulan menghendaki", berbincang-bincang
setelah makan malam yang paling akhir, shalat ketika makanan
sudah dihidangkan, mengkhususkan hari Jumat untuk berpuasa,
atau untuk melakukan Qiyamul Lail.

Perkara yang makruh --sebagaimana didefinisikan oleh para
ulama-- ialah perkara yang apabila ditinggalkan kita
mendapatkan pahala, dan apabila dikerjakan tidak mendapatkan
dosa.

Oleh karena itu, tidak ada siksa bagi orang yang melakukan
perkara yang dianggap makruh tanzihi. Hanya saja, ia akan
dikecam apabila melakukan sesuatu yang pantas mendapatkan
kecaman apalagi jika ia melakukannya berulang-ulang.

Akan tetapi, kita tidak perlu menganggap mungkar tindakan
semacan ini (makruh tanzihi); agar mereka tidak terjebak dalam
kesibukan memerangi hal-hal yang makruh padahal di saat yang
sama mereka sedang melakukan hal-hal yang jelas diharamkan
oleh agama.

------------------------------------------------------
FIQH AULAWIYYAT
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy

Khamis, 22 Oktober 2009

Orang-Orang Yang Dibenci Allah Azza Wajalla




a. Condong pada kesesatan.

b. Menggunakan tradisi orang-orang pada zaman jahiliyah.

c. Membunuh manusia tanpa alasan yang benar.

d. Banyak gosip. (An Nisaa: 114), (Al Mujaadilah: 9)

e. Takabbur

f. Syirik (Ibrahim: 13-14)

g. Taat dan tunduk pada syetan, melakukan dosa-dosa besar dan kecil. (Ibrahim:22)

h. Dusta dan menentang ayat-ayat Allah. (Al An’aam: 157)

i. Menghukumi tanpa berlandaskan hukum Allah. (Al Maaidah: 45)

j. Berdusta/berbohong kepada Allah Azza Wajalla. (Al An’aam: 21), (An Nahl: 116), (Al Baqarah: 140)

k. Melampaui batas dari ketentuan Allah (Al Baqarah: 229)

l. Mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan syariat Allah. (Al Qashash: 50)

m. Ayat-ayat Allah diperdengarkan namun ia tidak mengingat-Nya. (Al Kahfi:57)

n. Memfitnah, merendahkan dan mengolok-olok orang Muslim. (Al Hujuraat: 11)

o. Mencari-cari kesalahan dan mengghibah orang Muslim. (Al Hujuurat: 12)

p. Kekufuran. (Aali Imran: 105-106). Sebab-sebab dari sebuah perpecahan:

• Meninggalkan jalan Allah lalu mengikuti jalan-jalan setan. (al-An’aam: 153)
• Tidak disatukan oleh kebenaran dan melupakan sebagian ajaran Allah. (al-Maa’dah: 14)
• Tidak adanya kejernihan akal. (Aali Imran: 152)
• Tidak adanya persatuan hati di antara mereka tidak terdapatnya sifat zuhud dunia. (al Anfaal: 63)

RUJUKAN: JUNDULLAH(THAQAFAH WA AKHLAK) - Said Hawwa

Isnin, 5 Oktober 2009

Puasa Syawal


Puasa
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu 'anhu meriwayatkan:

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :"Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu diikuti dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR. Muslim).

Diriwayatkan bahwa Al-Imam Abu Hanifah mengkarahahkan puasa 6 hari syawwal baik berturut-turut maupun tidak berturutan. Sedangkan Abu Yusuf, salah seorang ulama dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa karahahnya hanyalah bila puasa 6 hari syawwal itu dilakukan dengan cara berturut-turut. Sedangkan bila dilakukan dengan tidak berturut-turut, maka tidak makruh.

Namun para ulama Al-Hanafiyah dari kalangan mutaakhirin tidak berpendapat sebagaimana pendapat Al-Imam Abu Hanifah. Mereka sebagaimana pendapat dari mazhab lainnya menyatakan bahwa puasa 6 hari di bulan syawwal itu memang hukumnya sunnah.

Dan sebagaimana kami katakan, bahwa jumhurul fuqaha baik dari kalangan Al- Malikiyah, Asy-Syafi'iyah mapun Al-Hanabilah semua sepakat mengatakan bahwa puasa 6 hari di bulan Sawwal itu hukumnya sunnah. Meskipun mereka berbeda pendapat tentang cara melakukannya.

Haruskah dilakukan berturut-turut atau tidak ?

a. Asy-Syafi'iyah dan sebagian Al-Hanabilah
Al-Imam Asy-Syafi'i dan sebagian fuqaha Al-Hanabilah mengatakan bahwa afdhalnya puasa 6 hari Syawwal itu dilakukan secarar berturut-turut selepas hari raya ?Iedul fithri. Yaitu tanggal 2 hingga tanggal 7 Syawwal. Dengan alasan agar jangan sampai timbul halangan bila ditunda-tunda.

b. Mazhab Al-Hanabilah
Tetapi kalangan resmi mazhab Al-Hanabilah tidak membedakan apakah harus berturut-turut atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh dari segi keutamaan. Dan mereka mengatakan bahwa puasa 6 hari syawwal ini hukumnya tidak mustahab bila yang melakukannya adalah orang yang tidak puasa bulan ramadhan.

c. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan kalangan Al-Hanafiyah yang mendukung kesunnahan puasa 6 hari syawwal mengatakan bahwa lebih utama bila dilakukan dengan tidak berturut-turut. Mereka menyarankan agar dikerjakan 2 hari dalam satu minggu.

d. mazhab Al-Malikiyah
Adapun kalangan fuqaha Al-Malikiyah justru mengatakan bahwa puasa itu menjadi makruh bila dikerjakan bergandengan langsung dengan bulan ramadhan. Yaitu bila langsung dikerjakan mulai pada tanggal2 syawwal selepas hari ?Iedul fithri. Bahkan mereka mengatakan bahwa puasa 6 hari itu juga disunnahkan di luar bulan syawwal, seperti 6 hari pada bulan Zulhijjah.

Dari Abi Ayyub Al-Anshari ra bahwa orang yang puasa ramadhan lalu dilanjutkan dengan puasa 6 hari Syawwal, maka seperti orang yang berpuasa setahun(HR. Muslim).

Dari Tsauban ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:Puasa ramadhan pahalanya seperti puasa 10 bulan. Dan puasa 6 hari setelahnya (syawwal) pahalanya sama degan puasa 2 bulan. Dan keudanya itu genap setahun).

Jumaat, 2 Oktober 2009

Kelebihan Puasa Enam Hari Dlm Bulan Syawal



عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu 'anhu meriwayatkan:

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :"Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu diikuti dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR. Muslim).